Terkadang, tak peduli berapa banyak orang di sekitarmu, kamu merasa sepi. Hanya karena kamu berharap dia yg kamu cinta ada di sisi.
Home » » Ketakutan yang menyiksa

Ketakutan yang menyiksa

Mari mulai menulis!
Sampel responden di sini beragam dan ngacak. Tentunya secara sotoy dan penilaian pribadi. No offense ya! Benar-benar tidak mewakili kebanyakan masalah yang sama di luar sana, tapi jujur ini seperti gunung berapi yang siap meletus kapan pun di lingkungan mana pun.
“Ada perkawinan tanpa harus ada cinta… Begitu pun ada cinta tanpa harus ada perkawinan.” (sebut saja Ardi)
Jadi ini yang kulakukan: mencari orang-orang yang mau menikah karena “kewajiban” dan menjalani serta bertahan karena “terpaksa”. Random. Aku berusaha senetral mungkin memandang masalah mereka.

Sebuah rumah tangga. (seharusnya harmonis) Dari 10 sampel yang kudapatkan (plus sumber-sumber tak dikenal di internet sekitar 30-40 kasus), baik si pria atau si wanita yang memutuskan menikah, ada beberapa tipe:
1. Keduanya saling mencintai dengan tulus.
2. Keduanya terpaksa menikah karena MBA.
3. Keduanya menikah karena dijodohkan, entah terpaksa atau memang mau.
4. Keduanya menikah dengan alasan “daripada zina.”
Tentu saja, yang (diharapkan) bakalan mendapat kebahagiaan adalah poin satu, kan? Gak ada yang gak setuju. Heu! Yang lainnya tentu saja rawan. Aku menelan ludah ketika mulai mendengar atau membaca kisah mereka. Berbagai perbedaan yang mulanya diterima dengan baik saat masih pacaran, mendadak bagai jurang pemisah ketika telah menikah. Semua yang asli terlihat dan saat itu pula berkata, “Sinting aja kalo pisah cuman garagara beginian.” Kalimat yang berbeda makna.
Pasangan nomor satu tentunya akan belajar saling menerima dan memaafkan. Tak ada yang sempurna. Pasangan nomor dua kadang melakukan hal ekstrem, “Setelah anak itu lahir, kita pisah!” Ini sudah menjadi rahasia umum kan, di masyarakat? Gak usah muna deh! Pasangan nomor tiga mungkin yang lumayan agak dilema. Meneruskan pernikahan demi orangtua atau berpisah karena merasa gak cocok. Ah elah, baru juga sebentar nikah. Namanya juga menyatukan dua pribadi yang beda. Iya, memang kalau mau toleransi. Kalau gak? Pasangan nomor empat biasanya paling nekat. “Ya udahlah! Udah gak cocok! Kita pisah!” *siul-siul*

Bagaimana kalau sudah punya anak? Wow, ini yang paling berat. So far, menurutku yang cupu ini, selama permasalahan dalam rumah tangga masih bisa ditolerir, selesaikan! Cari orang ketiga sebagai penengah. Kalau perlu pergilah ke konsultan pernikahan, ke ulama atau pendeta, ke sesepuh keluarga, atau siapa pun yang dianggap capable untuk meringankan masalah. Satu hal yang PANTANG untuk dilakukan: jangan pernah bertengkar  / adu mulut di depan anak-anak. Kalau boleh dibilang HARAM ya bisa jadi. Jangan lukai hati mereka dengan memperlihatkan bahwa orangtuanya saling emosi (saling membenci?) Bertengkar di depan anak sama saja mengajarkan bahwa kebencian itu sesuatu yang wajar. Mereka belajar memaki, mengumpat, menyumpah, dan ketika saling melempar barang mereka akan belajar menjadi manusia yang kasar.
Bagaimana kalau cinta mulai menipis dan ada godaan berupa PIL atau WIL? Hm, sensitif sekaleeeeeee….. *evil grin* Kukatakan wajar. *digranat* Iya, wajar. Artinya dalam batasan normal, menyukai orang lain itu artinya normal. Yang gak normal itu kalau suami suka sama Anjasmara atau istri suka sama Maria Selena. Gitu loh! Hanya secara fisik. Nah, kalau dalam Islam:
Sabda Rasullah shallallahu alaihi wa sallam , ” Bila engkau melihat seorang wanita, lalu ia memikat hatimu, maka segeralah datangi istrimu! Sesungguhnya, istrimu memiliki seluruh hal yang dimiliki oleh wanita yang engkau lihat itu. ” (HR. Turmudzi)
Ini harus benar dimengerti dan dipahami. Bukan hanya untuk si suami, tapi juga si istri. Jaman sekarang, gak hanya suami kan yang kerja atau beraktivitas di luar rumah. Istri juga sama sibuknya. Jarangnya pertemuan dan komunikasi suami-istri mengakibatkan terkikisnya perasaan cinta itu. Lebay? Rasain aja sendiri. *lah, malah nantangin* Di luar sana godaan itu super duper banyak. Kalau gak kuat iman ya…. Gitu deh!
Oke, pembahasan belokin dikit. Dan ini bagian yang gak boleh diprotes siapa pun! *maksa* Gak sedikit (atau bahkan semua?) para istri yang mengetahui bahwa suaminya memiliki wanita idaman lain, punya selingkuhan, bahkan mungkin “friend with benefits” yang sama sekali tidak pernah disangka. Misal sahabat sendiri. (udah kubilang jangan protes!) Tetapi mereka sengaja menutup mata dan telinga. Alasan? Banyak. Diantaranya yang paling umum adalah:
1. “Biarin deh. Yang penting uang bulanan tetap ada.”
2. “Gak masalah. Yang penting saya gak dimadu.”
3. “Ah, peduli amat. Yang penting resminya cuman sama saya.”
4. “Apa kata orang kalau saya minta cerai? Dianggap gak bisa ngurus suami.”
Dear ladies!!! Sudah menjadi hukum alam atau kodrat kalau libido lelaki tuh kayak gitu. Mana ada lelaki yang tahan gak berhubungan intim selama sebulan? Iris deh kupingku! Kecuali tuh lelaki dikebiri. Ini yang diatur secara bijak dalam Islam bahwa lelaki boleh menikah dengan maksimal empat wanita karena beberapa hal. Diantaranya adalah wanita punya masa liburan dalam melayani suami. Wanita mudah lelah karena mengurus suami, anak, rumah tangga, dan terkadang aktivitas lain di luar seperti kegiatan sosial atau juga bekerja. Ketika suami minta jatah preman (halah) dan istri dalam keadaan lelah, biasanya sih ada penolakan ya? Trus gimana dong dengan hasrat yang tak terbendung? Kalau yang kuat iman sih bisa dengan mudah mengaji, shalat, puasa, baca alkitab, ke gereja, atau apa deh untuk mengalihkan pikiran aneh semacam ‘cari cadangan di luar’.
Nah, dari sisi lelaki juga sama! Ada yang selalu mengalah pada istrinya yang lebih dominan (anggota Perkumpulan Suami Takut Istri? :lol: ) dan mengetahui perselingkuhan ibu dari anak-anaknya itu. Di sini, lelaki punya bargaining lebih kuat: Cerai atau hentikan kegilaan selingkuh itu. Apa alasan istri selingkuh? Mostly dua hal: pendapatan suami gak (dirasa) cukup atau disfungsi ereksi. Apalagi kalau punya istri yang libidonya tinggi. Ya, masalah lagi deh.
Nah, penyelesaian masalah akan lebih mudah jika belum punya anak. Hal ini kembali pada keduanya. Harus berdiskusi dengan pikiran tenang dan tidak emosi. Yang sulit adalah bila sudah punya anak. Cerai? Hohohoho, dikate gampang? Hak asuh sama siapa? Itu pertanyaan pertama. Apa kata orang? Itu pertanyaan kedua. Bagaimana kehidupan anak-anak pasca perceraian? Itu pertanyaan ketiga. Yaaaa… Itu juga kalo mau dipikirin. Tentu, kembali lagi. Alasan cerainya apa? Ketauan selingkuh doang? Plis deh! Ngaca lagi. Mikir lagi. Itu bisa dipecahkan dengan beberapa hal. Antara lain:
1. Kembali pada perintah Allah dan Rasul
2. Ijinkan suami menikah lagi.
3. Janji untuk tidak mengulangi lagi.
Susah? Emang! Tapi kan itu tantangannya, masbro dan mbaksis! Itulah ujian dari Allah. Sanggup gak kita melewati semua itu?
Yang bertahan karena “apa kata orang” tetapi membuat anak-anak menderita karena melihat pertengkaran setiap hari, coba pikir lagi. Apakah tega membunuh jiwa-jiwa muda dan ringkih itu hanya karena egois? Bukan berarti aku menyarankan perceraian (karena aku juga gak mau memilih opsi itu sebenarnya!!!) tapi jika jiwa dan fisik anak terancam…. Pikirkan sekali lagi!
Untuk para istri, benarkah LEBIH RELA suami selingkuh dan kalian diam saja sementara itu berarti menjerumuskan imam rumah tanggamu ke neraka? Bukankah lebih baik ijinkan suami menikah lagi? Memang berat ya jika poligami dan itu adalah pilihan terakhir. Jika kalian gak mau suami selingkuh, perbaiki jiwa raga kalian! Jadilah bidadari terbaik bagi suamimu yang hanya bisa melihat surga pada dirimu. (ini aku nulis sambil ngebayangin sendiri. #ngek!)
Untuk para suami, kewajibanmu adalah MENDIDIK istri untuk ikhlas menerima kekuranganmu. Ajari istri untuk selalu bersyukur dan dekat dengan Allah. (ebuset, aku udah kayak Mamah Dedeh ya? *dinuklir* ) Tentunya kalian paham tahapan menegur istri itu seperti apa. Dengan lisan, dengan sindiran, dengan tepukan, dengan pukulan, dengan menyerahkan masalah pada keluarga istri, dan terakhir baru cerai. Cegahlah agar istri tak mencari pembanding dengan pria lain. Jadikan dirimu satu-satunya pelindung dan pemimpin rumah tangga.
Kalian yang sama-sama ketakutan untuk meneruskan pernikahan karena hal-hal yang sudah tak sanggup ditanggung, serahkan semua pada Tuhan. Yakinkan dan pasrahkan. Jangan terjebak emosi sesaat. Jangan peliharan jiwa yang sakit hanya karena malu pada omongan orang. Ganti pertanyaannya, “Apa kata Allah?” Perceraian memang dibenci Allah. Tapi pasti ada hikmah dibalik semua itu. Terutama, pikirkan anak-anak. Jangan gegabah. Hidup mereka lebih berarti untuk diselamatkan.
Dari berbagai sampel yang kudapat, semuanya bertahan dalam kegamangan. Kemunafikan. Ketakutan. Malu untuk jujur. Lebih memilih tersakiti, disakiti, dan menyakiti. Sudah menjadi terbiasa hingga tak lagi merasa damai yang sesungguhnya. Semua kamuflase. Semua penuh kebohongan. Sampai lupa arti bahagia yang sesungguhnya dan ironisnya, mereka lupa sudah punya anak! Oh ya, di luar kelihatannya anak-anak bahagia. Tertawa. Makan cukup. Pendidikan oke. Lupa kalau masih ada jiwa rapuh di dalam diri mereka yang tersiksa melihat pertengkaran orangtuanya setiap hari. Ini, yang terlupa oleh dua orang dewasa yang sama-sama egois.
Hey, jangan pada protes! Ini sih pendapat pribadi dan bisa salah total dalam penilaian kalian, orang-orang yang rumahtangganya harmonis. Have you ever stand on another shoes? Jika gak pernah, jangan mengadili. You should try dancing under the rain and face the storm, but you won’t;)
Tak ada yang mau pernikahannya berujung pada perceraian. Juga, sebenarnya tak mau juga memilih poligami. Pokoknya, kalau sanggup saling membahagiakan, lupakan poligami. Hargai pasangan kalian. Jika cinta dirasa mulai hambar, silakan bulan madu kedua, ketiga, keempat. Setiap tahun kalau perlu. Untuk memperbarui janji di hadapan Allah saat akad nikah dulu dan menyalakan lagi semangat yang sempat melemah.
Semua, kembalikan pada Allah. Dia tak pernah jauh. Dia selalu ada untuk mendengar keluh kesah kalian. Yang terjadi adalah kalian yang menjauh dariNya. Tak ada kata terlambat selama nafas masih berhembus dan jantung masih berdetak.
Jangan pernah ada lagi ketakutan yang menyiksa. Pilihan ada di tangan kalian. Allah tak akan mengubah nasib kalian jika bukan kalian yang mengubahnya. Takdir pun bisa diubah dengan doa yang tak pernah putus.
Tulisan ini dibuat sebagai bahan renunganku pribadi agar tak lagi salah melangkah. Cukup sekali menjadi pelajaran. Maaf bila tersinggung. Karena sungguh, semua ini nyata adanya. Bukan draftsinetron atau dongeng negeri Olympus.
~Ketika hanya ada doa yang terpatah-patah dalam sujud yang jauh dari tanah~
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Recent Post

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Gytha Ravik - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger
blog serba tersedia